Jumat, 12 Juni 2015

IBUNDA PARA ULAMA

Judul buku: Ibunda Para Ulama
Resensi : Dina Ummu Aisyah
Penerbit : Pustaka Al Inabah
Penulis : Sufyan bin Fuad Baswedan MA
#‎readingchallenge
#‎tokomuslimkoe



Mungkin telah banyak yang membuat resensi dari buku ini, akan tetapi, saya akan membuat kembali resensi buku ini sebagai pengingat tatkala datang letih, sedih atau pun marah dalam mendidik anak-anak sebagai amanah yang Allah titipkan. Untuk saya kembali belajar serta mengingat bahwa dibalik kesuksesan para Sahabat, para Ulama, ada ibu dibalik nama-nama besar mereka. Sosok ibu-ibu yang sholehah, tegar, dan cerdas sehingga kita dapati kebanyakan para Ulama besar adalah para yatim yang dengan kesabaran para ibunda merekalah, anak-anak ini mampu menjadi sosok yang nama dan ilmu mereka tetap dikenal dunia luas walaupun telah berabad-abad mereka meninggal dunia.


Jangan hanya bercerita tentang
Kecerdasan Imam Syafi’I,
Kealiman Sufyan Ats Tsauri,
Kezuhudan Hasan Al Bashri,
Dan kesabaran Anas bin Malik,
Tapi bacalah….
Bagaimana ibunda mereka!

Benarlah tulisan pada halaman depan buku ini, selama ini telah banyak buku dan kitab yang mengupas, membahas dan menceritakan kisah dan nama besar para Ulama, Shahabat, dan Imam besar, tapi, sedikit sekali buku yang mengisahkan siapa dan bagaimanakah sosok dibalik kesuksesan mereka yaitu para ibunda mereka.


Dari kalangan sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, telah kita kenal nama Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu yang merupakan shahabat yang memiliki umur yang panjang, ilmu yang luas dan banyak meriwayatkan hadits. Anas bin Malik lahir dari seorang ibunda yang sangat mencintai Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah Ummu Sulaim, beliau dikenal dengan kezuhudannya, sholehah dan sabar. Pada saat kaum Anshar berbondong-bondong memberikan hadiah kepada Nabi, ummu Sulaim yg saat itu telah ditinggal suaminya tidak memiliki apapun untuk dipersembahkan kepada Nabi. Karena besarnya kecintaannya kepada Nabi maka Beliau memberikan Anas bin Malik, anaknya yang saat itu masih berusia 8 tahun kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam agar dididik dalam lingkungan rumah tangga Nabi.

Ummu Sulaim pun memiliki tingkat kesabaran dan kecerdasan yang tinggi berbalut dengan kesholehan dirinya. Terbukti dengan menerimanya Ummu Sulaim dari pinangan Abu Thalhah dengan mahar keislaman Abu Thalhah. Dan betapa kesabarannya tampak dari kisahnya yang sangat dikenal yaitu ketika Abu Thalhah pergi keluar rumah, anak mereka meninggal dunia. Sepulangnya Abu thalhah bertanya bagaimana kabar anak mereka, Ummu Sulaim menjawab bahwa ia sekarang telah lebih tenang. Lalu dengan sabar berhias dan berkumpul dengan suaminya.

Cara Ummu Sulaim menyampaikan kematian anaknya pun menunjukkan kecerdasan beliau. Ummu Sulaim bertanya kepada suaminya, ‘bagaimana menurutmu keluarga si fulan mereka meminjam sesuatu dari orang lain tapi ketika diminta mereka tidak mau mengembalikannya?’ Suaminya menjawab, ‘mereka telah berlaku tidak adil.’ Lalu Ummu Sulaim mengabarkan kematian anaknya, ‘ketahuilah bahwa puteramu adalah pinjaman dari Allah dan kini Allah telah mengambilnya kembali.’ Abu Thalhah bertanya kepada Rasulullah tentang sikap istrinya tersebut dan ternyata Rasulullah justru membenarkan dan mendoakan agar Allah mengganti dengan yang lebih baik, maka lahirlah Abdullah bin Abi Thalhah, yang langsung ditahnik, didoakan serta diberi nama oleh Rasulullah. Dari Abdullah tersebut lahirlah 7 anak yang sholeh yang semuanya telah hapal Al Quran sejak kecil.

Ummu Sulaim, inilah sosok wanita yang dikabarkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam termasuk dalam wanita penghuni surge. Dari Jabir Radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘ketika aku masuk Jannah, tiba-tiba aku melihat disana ada Rumaisha’ istri Abu thalhah’ (HR. Al Bukhori)

Dari para Imam besar, salah satunya adalah Imam As Syafi’i. beliau lahir di Gaza (Palestina) pada tahun 150 sebagai anak yatim. Ayahnya yang bernama Idris meninggal di usia muda, maka beliau dibesarkan oleh sang ibu, Fathimah binti Ubeidillah. Ibunya berasal dari salah satu kabilah di Yaman, sedangkan ayahnya mesih merupakan keturunan dari Bani Muththalibi yang masih memiliki kesambungan nasab dengan Rasulullah. Maka ibunda beliau memutuskan untuk hijrah ke Mina agar Syafi’i kecil mendapat pendidikan agama yang baik dari keturunan ayahnya di Mekkah.
Telah banyak diketahui kecerdasan dan kesholehan Imam Syafi’i. beliau hafal Al Quran sejak usia masih belia dan menghafal begitu banyak Hadits.

Tentang kecerdasannya, sang ibu pun turut ambil bagian. Diriwatkan ketika ibunda imam Syafi’I diminta untuk menjadi saksi, maka ia membawa salah satu teman wanitanya. Lalu hakim hanya memperbolehkan ia sebagai saksi maka ia berkata bahwa, hakim tidak boleh seperti itu, sebab Allah berfirman dalam QS Al Baqarah ayat 282 tentang saksi dari perempuan haruslah berjumlah 2 orang agar jika yg satunya lupa, yang satu lagi dapat mengingatkan. Maka hakim pun terdiam mendengar kecerdasan dari ibunda Imam Syafi’i.

Dari ulama masa kini, yang dibahas dalam buku ini adalah ibunda dari Syeikh bin Baz Rahimahullah. Beliau adalah asy Syaikh ‘Abdul ‘Azis bin Abdillah bin Baz ulama yang terkenal dengan kelembutan hati, ketawadhuan, kedermawanan, ketakwaan serta kezuhudannya. Mufti kerajaan Saudi Arabia, ketua Lajnah Daimah dan Majma’ul Fiqh al Islamy di masanya. Beliau lahir dalam keadaan sehat namun sejak usia 16 tahun penglihatannya menurun dan akhirnya buta total diusia 20 tahun. Beliau dibesarkan dalam keadaan yatim dan diasuh oleh ibunya, Hayya binti Utsman bin ‘Abdillah bin Khuraim. Ibunda beliau memiliki kesabaran dan selalu mengarahkan anak-anaknya ke dalam ilmu agama. Syaikh bin Baz kecil dikirimnya ke kuttab (semacam taman pendidikan Al Quran) untuk membaca Al Quran sejak usia kurang lebih 10 tahun dan akhirnya berhasil menghapal Al Quran di usia kira-kira 16 tahun.

Syaikh bin Baz telah memiliki murid sejak usia yang mesih cukup muda. Dan ibundanya pun sangat mendukung penyebaran ilmu anaknya. Hingga ia pun bersemangat untuk memenuhi segala kebutuhan para santri untuk belajar kepada Syaikh bin Baz, baik dengan menyediakan makana, atau pun minuman kepada mereka, menjahitkan pakaian mereka, atau hal lain yang mereka perlukan.

Masih banyaknya peran para ibunda lainnya yang dibahas dalam buku ini. Namun, secara garis besar resensi ini saya anggap telah mencukupi. Semoga Allah merahmati mereka dan kedua orang tua mereka, serta membalas jasa-jasa mereka terhadap Islam dan kaum Muslimin, aamiin…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar